Ads Top


Diary Gerakan Kendari Mengajar #7 : (Sebuah Harmoni yang Hadir melalui Hujan )

Kredit gambar disini
(Sabtu,19/04/14). Hari itu seperti biasa kami kembali meniti hamparan jalan berbatu dengan menggunakan kendaraan roda dua yang selama ini senantiasa  setia menemani perjalanan kami ke Puulonggida. Sore itu jalan Puulonggida sedikit memberikan perlawanan, yang menyebabkan kendaraan kami sedikit goyah ketika melewatinya, batu-batu kecil dan tajam berhamburan laksana karpet merah menyelimuti jalan, menyebabkan jalur kendaraan yang biasa kami lewati tidak senyaman biasanya, namun alih-alih bersusah hati dengan keadaan tersebut, kami menjadikan hal tersebut sebagai hiburan tersendiri dan menjadikannya bahan candaan ketika melewati Titian Menuju Nyala itu.
Sore itu tak seperti biasanya, lapangan tempat kami biasa berbagi ilmu dengan adik-adik kami nampak kosong, tak ada suara gaduh dan senyum sumringah yang biasanya selalu menyambut kedatangan kami laksana seorang artis yang akan bertemu dengan para penggemarnya. Tiba-tiba di kejauhan tampak beberapa adik berlarian menyambut kami, “mana teman-teman kalian yang lainnya?” Tanya kami kepada mereka. “Kita habis ulang tahun kak, sebagian sudah pulangmi, bagaimana katanya Siska tadi kita sudah datang tapi kita pulang lagi. Jadi teman-teman yang lain kira tidak belajar” jawab salah satu adik didik kami yang bernama Randi.
 
Ah, rupanya sore itu adik salah seorang adik kami sedang merayakan pesta ulang tahun, pantas saja terdengan suara musik elekton yang langka terdengar di Puuloonggida. Kamipun mengajak adik-adik yang ada untuk masuk ke lapangan untuk memulai kegiatan belajar dan memberitahu kepada beberapa anak untuk memanggil temannya yang lain. Dengan menggenggam tangan mungil mereka, kami bersama-sama melangkah ke halaman sekolah tempat kami selalu bercengkerama setiap sorenya. 

Kegiatan belajar mengajar belum bisa kami mulai dikarenakan kak Rheny yang memegang media pembelajaran yang akan kami gunakan belum tiba, maka untuk mengisi waktu kosong itu kami mengajak adik-adik untuk bercerita mengenai kegiatan mereka hari itu. Tak terasa setengah jam telah berlalu, mereka tampak mulai bosan menunggu “kak sinimi kita belajar” ajak salah satu adik didik kami. “Iya kak, lamanyami kita mulai belajar. Kita pulangmi pale” sambung yang lainnya. Bak gayung bersambut, tidak beberapa lama kemudian kak Rheny pun tiba bersama kak Ephy. Adik-adik kemudian dibagi ke kelompok belajar mereka. 


Hari itu jadwal belajar kami adalah Bahasa Indonesia, adik-adik dikelas Calistung (baca, tulis, hitung) dilatih untuk menuliskan huruf.

Adik-adik ditingkatan dua diberikan kertas berisi gambar dan diinstruksikan mendeskripsikan gambar tersebut melalui tulisan. 


Adik-adik ditingkatan tiga dan empat dilatih dalam hal kemampuan membuat puisi, sedangkan adik-adik di tingkatan lima, enam, dan SMP diberikan gambar untuk kemudian mereka dinarasikannya dalam sebuah cerita.


Bukan tanpa alasan kami melakukan hal ini. Dari evaluasi yang kami lakukan sebelumnya, kami mengetahui bahwa adik-adik kami di Puulonggida masih lemah dalam hal menulis, sebagai contoh masih ada beberapa anak yang tidak lengkap menuliskan sebuah kata, misalnya saja kata “bapa” yang seharusnya adalah “bapak”, “ruma” yang seharusnya adalah “rumah” dan lain-lain. Selain itu juga masih ada beberapa adik-adik yang menulis dengan menggabungkan huruf kapital dan huruf kecil. Oleh karena itulah di mata pelajaran Bahasa Indonesia kali ini kami berfokus untuk melatih kemampuan menulis adik-adik kami. Kami harus sering melatih mereka, membiasakan mereka mengenal keberagamana kata dalam bahasa Ibu pertiwi kita, Bahasa Indonesia. Bukankah ada pepatah yang mengatakan “ala bisa karena biasa” ?




Dengan menggunakan topi yang mereka dapatkan ketika menghadiri ulang tahun, adik-adik dengan tenang mengerjakan kegiatan yang diberikan kepada mereka. Ketika sedang asik mengawasi adik-adik, tanpa kami sadari langit yang tadinya terang sudah berubah menjadi  pekat, pekat bukan dikarenakan tiba saatnya bagi matahari untuk kembali keperaduannya, melainkan pekat dikarenakan sang langit telah berubah menjadi mendung. Rupanya sang langit akan mengutus sang hujan menganugrahkan sumber kehidupan ke Bumi. Kertas-kertas hasil kerja mereka segera dikumpul menjadi satu dan diserahkan ke kak Rheny. Kami kemudian berlarian kecil menuju beranda sekolah yang ada di sekitar lapangan untuk mencari tempat berteduh. Awan pekat telah berhasil menjadi butiran jernih, bulir demi bulir hujanpun turun, dari satu bulir yang jatuh menjadi puluhan,ratusan, ribuan bahkan jutaan bulir yang jatuh secara serentak. Sang kilatpun bagaikan seorang pemeran pembantu yang tak mau ketinggalan turut melengkapi drama hujan di sore itu.

Hujan selalu memberi anugrah tersendiri bagi mahluk yang sangat membutuhkannya dan tau cara bersyukur atas nikmat yang telah diberikan tuhan padanya. Seperti yang dilakukan oleh sebagian adik-adik kami, mereka mensyukuri hujan dengan menjadikannya sebagai sarana bermain. Bagi mereka hujan adalah wahana bermain yang disediakan alam secara gratis dan  sayang untuk dilewatkan, misalnya saja melalui hujan adik didik kami yang bernama Nike dan Ana, menjadikan lapangan berumput tempat kami biasanya berkumpul untuk belajar menjadi sebuah kolam untuk berenang. Badan mereka meliuk-liuk bagaikan seorang perenang handal dalam sebuah genangan air direrumputan. Beberapa anak yang lebih besar tampak sigap membuka baju mereka dan berkejar-kejaran dengan diiringi hujan, mereka tampak sangat berbahagia.

Sebagian adik lainnya memilih untuk duduk berhimpit-himpitan berjejeran bersama kami diberanda sekolah diselingi senda gurau khas anak-anak. Ditengah harmoni suara hujan yang turun, adik-adik mengajak kami bermain teka-teki lucu, kocak bahkan sedikit tidak masuk diakal. Misalnya saja ada salah satu anak yang bertanya kepada kami “kecil, putih, panjang dan terbang, apakah itu?” dan jawabannnya adalah “nasi yang tertempel dipesawat terbang”. Atau teka-teki lain yang berbunyi “jatuh satu, jatuh semua, apakah itu ?” dan jawabnnya adalah “orang yang sujud kalau sholat”. Nuansa dingin yang dibawa oleh hujan kini telah tergantikan dengan hangatnya sukacita kebersamaan yang tercipta. Sambil bermain-main teka-teki, adik-adik berkata kepada kami “kak kita bermalammi saja di sini?, kerasnya hujan, nanti kita sakit kalau pulang“ kamipun menjawab “kita mau tidur dimana?” merekapun mengusulkan agar kami bermalam diruangan kelas sekolah dan menawarkan akan membawakan lampu pelita, bantal dan keperluan lainnya, bahkan merekapun dengan semangat berkata akan menemani kami bermalam diruangan kelas. Bahkan adik kami yang bernama Nur segera ke rumahnya untuk meminta izin kepada orang tuanya untuk menemani kami menginap di sekolah. Binar dimata mereka menegaskan wajah yang disesaki harapan menunggu jawaban ya dari kami, dengan senyuman kami menjelaskan bahwa kami harus pulang kerumah, ada keluarga yang juga menunggu kami dirumah, seperti orang tua mereka yang juga sedang menunggu kepulangan mereka. 

Kredit Gambar disini

Hari semakin gelap, malam segera tiba, belum tersedianya fasilitas listrik seakan menyempurnakan kepekatan sang malam yang kian mendekat. Kamipun menyuruh  mereka untuk segera pulang kerumah masing-masing, mereka berkeras tak mau beranjak pulang dan akan terus menemani kami hingga hujan reda. Perdebatan kami diakhiri dengan sebuah kesepakatan, mereka akan pulang jika kami mengantar mereka. Hujan menemani langkah kami berdesak-desakkan dalam sebuah naungan payung yang kami pinjam dari salah seorang adik. Diakhir perjumpaan di depan rumah mereka, dengan tatapan kekhawatiran diwajah, sebuah pesan mereka lantunkan, “Kasiannyami kita kak, hati-hati dijalan kalau pulang nah”. Pesan sederhana yang sarat emosi menimbulkan satu perasaan haru disanubari kami. Dengan tersenyum kami menjelaskan mereka tidak perlu mengkhawatirkan kami, hujan sebentar lagi akan reda dan kamipun akan segera pulang ke rumah masing-masing. Lambaian tangan mereka menjadi salam perpisahan dimalam itu. Tak beberapa lama kemudian langit berbaik hati dengan mengurangi intensitas air yang ia curahkan dibumi, motor kamipun beriringan membelah pekatnya atmosfer malam. Sungguh, hari itu hujan telah memberikan kami kesempatan untuk menikmati harmoni kebersamaan yang berbeda dan terasa lebih indah dari biasanya. (AN)

Diary Gerakan Kendari Mengajar #7 : (Sebuah Harmoni yang Hadir melalui Hujan ) Diary Gerakan Kendari Mengajar #7 : (Sebuah Harmoni yang Hadir melalui Hujan ) Reviewed by Unknown on 20.58 Rating: 5

4 komentar

  1. Ahh ... mengharukan, as always. You rock, guys! ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. ka maya juga keren....udah di tanyain adik-adik ka may :)

      Hapus
  2. kece :"
    semoga diberi waktu luang untuk bisa bergabung menjadi pengajar :D

    BalasHapus


close