Diary Gerakan Kendari Mengajar #1 [Memorabilia Kampung di Tengah Kota]
Sore itu, sebelum pukul 3, kami sudah berkumpul di depan halaman kantor Polresta Kendari, tepat di depan bundaran Mandonga, sesuai kesepakatan. Kami berencana akan berangkat dari sana dengan kendaraan masing-masing, tepat pukul 3. Tak ada yang akan pernah bisa menduga kendala-kendala yang menyebabkan rencana harus bergeser dari perkiraan mula-mula. Dan itulah yang terjadi dengan kami hari itu, Sabtu, 21 September 2013. Perjalanan kami terlambat hampir setengah jam dari rencana semula.
Tidak sedikit pengajar yang melakukan perjalanan ini untuk pertama kalinya. Kecamatan Puuwatu bukan daerah yang begitu asing. Tetapi juga tidak begitu familiar bagi beberapa pengajar. Rombongan pengajar berhenti di mulut sebuah lorong tak jauh dari perumahan Graha Asri, untuk bersama-sama menuju lokasi target GKM yang masih berjarak sekitar tiga kilometer dari sana. Di kurang lebih dua kilometer pertama, tak ada yang janggal dengan perjalanan itu. Meski bisik-bisik beberapa pengajar yang sudah terlebih dulu mengunjungi lokasi sempat mengusik, bahwa satu kilometer selanjutnya adalah medan yang cukup ekstrim. Beberapa kendaraan berhenti lagi begitu jalanan beraspal akhirnya menghujung. Jalanan berbatu membentang di hadapan kami.
Beberapa pengajar perempuan memilih berjalan kaki ketimbang menunggu jumlah kendaraan yang terbatas untuk mengantar beberapa pengajar perempuan lainnya untukselanjutnya kembali menjemput mereka.
Jalanan berbatu yang kami tempuh cukup menguras energi. Terutama jika kami harus mengendara di jalanan menurun atau mendaki. Tapi pikiran tentang lokasi asri dengan barisan kaki-kaki mungil menanti kami di beberapa kilometer berikutnya, membuat perjalanan itu tak berbeda dengan perjalanan yang biasa kami tempuh dari rumah ke kampus atau ke tempat kerja. Meski begitu, tetap saja beberapa pengajar yang baru mengunjungi Desa Puulonggida itu dibuat tercengang, dengan kenyataan bahwa mereka sedang menapakkan kakinya di sebuah desa yang terletak di tengah kota.
Jalanan berbatu yang kami tempuh cukup menguras energi. Terutama jika kami harus mengendara di jalanan menurun atau mendaki. Tapi pikiran tentang lokasi asri dengan barisan kaki-kaki mungil menanti kami di beberapa kilometer berikutnya, membuat perjalanan itu tak berbeda dengan perjalanan yang biasa kami tempuh dari rumah ke kampus atau ke tempat kerja. Meski begitu, tetap saja beberapa pengajar yang baru mengunjungi Desa Puulonggida itu dibuat tercengang, dengan kenyataan bahwa mereka sedang menapakkan kakinya di sebuah desa yang terletak di tengah kota.
Puulonggida terletak di Kelurahan Watulondo, Kecamatan Puuwatu. Sejak bertahun-tahun silam, desa ini telah dilabeli dengan jargon Kampung Wisata. Setibanya kami di sebuah bangunan—mirip saung namun tampak cukup luas—yang oleh warga sekitar disebut Baruga, sebuah papan peta yang berdiri di gerbang Baruga, lagi-lagi, membuat beberapa pengajar seakan tak percaya. Peta itu menampilkan keistimewaan Kampung Wisata Puulonggida. Aktivitas seru seperti flying fox dan bird watching, adalah beberapa hal yang terpetakan di sana.
Tak lama setelah melepas sedikit kepenatan di Baruga, beberapa anak yang sepertinya menyadari kedatangan kami--yang sebelumnya telah dikabarkan--datang mendekat, meski tampak malu-malu. Sebagian besar dari mereka memeluk buku tulis bersampul aneka ragam. Mereka duduk dengan jarak beberapa meter dari kami, mungkin merasa sungkan dan asing.
Beberapa pengajar mencoba mendekati mereka dan berinteraksi. Sekadar saling bertukar nama dan menanyakan perihal sekolah atau sedang melakukan apa saat kami datang.
Beberapa pengajar mencoba mendekati mereka dan berinteraksi. Sekadar saling bertukar nama dan menanyakan perihal sekolah atau sedang melakukan apa saat kami datang.
Seorang kawan baru kami yang antusias ingin menyaksikan dari dekat Puulonggida, Shae, tidak ketinggalan menyapa salah seorang adik asuh dan mendiktenya dengan kalimat bahasa Inggris sederhana, "My name is ...," dia mengisyaratkan agar sang adik asuh menyebutkan namanya.
Selepas Asar, kami bergerak menuju halaman SDN 19 Mandonga, untuk memulai sesi interaksi dengan calon adik-adik asuh kami. Sekolah yang didominasi warna hijau itu benar-benar terasa menenangkan, ditambah lagi suasana lengang khas pedesaan yang melingkupi sekitarnya. Tak ada lagi kepenatan. Yang ada hanya senyum sukacita dan euforia ingin segera mengenal calon adik-adik asuh kami yang sudah menyambut kami dengan sama gembiranya.
Beberapa Kakak Pengajar segera mengelompokkan diri dengan beberapa Adik Asuh. Kakak-Kakak ini sedang melakukan teknik persuasi untuk mengetahui level kemampuan belajar Adik-Adik Asuh agar kelak mudah dikelompokkan dalam kelompok belajar yang sesuai dengan tingkat kemampuan belajarnya.
Kakak-Kakak yang dibekali dengan lembar biodata Adik Asuh ini lantas sibuk mengarahkan Adik-Adik Asuh untuk mengisi kolom demi kolom dengan benar. Hal ini juga ditujukan agar Kakak-Kakak Pengajar bisa menilai secara langsung kemampuan menulis Adik-Adik Asuh. Menariknya, sesi pengisian lembar biodata ini sangat menarik minat Adik-Adik Asuh kita.
Mereka sangat antusias dan tak tampak ingin melakukan kesalahan sedikit pun. Bahkan beberapa anak yang di awal kedatangan kami tampak berlarian ke sana kemari untuk menarik perhatian, mereka terlihat sangat serius dalam sesi ini
Sementara itu di tempat yang tak jauh dari kelompok-kelompok dinamis kecil ini, beberapa Kakak Pengajar tampak disibukkan perihal teknis belajar di pertemuan selanjutnya dan strategi-strategi manajerial organisasi.
Sesi interaksi perdana ini berlanjut pada sebuah sesi perkenalan antara Kakak-Kakak Pengajar dengan Adik-Adik Asuh. Sebuah lingkaran raksasa terbentuk mengelilingi tiang bendera.
Satu per satu Kakak-Kakak Pengajar menyebutkan namanya dan akan disambut dengan sapaan "Hai" yang penuh energi. Salah seorang Adik Asuh dengan semangatnya menuliskan satu demi satu nama Kakak-kakak Pengajar lalu membacakannya dengan lantang di tengah-tengah lingkaran. Adik-Adik Asuh pun tak ketinggalkan memperkenalkan diri. Menyebutkan nama, dan kelasnya.
Pertemuan singkat sore itu berakhir dengan sebuah sesi games. Tamu kita, Kak Shae memimpin sebuah tari lucu yang ia sebut chicken dance. Tari berdurasi pendek ini adalah kompilasi gerakan membuka tutup kedua tangan seperti isyarat "nyala-padam", mengepak-kepakkan kedua tangan seolah-olah ia adalah sepasang sayap, menggoyang-goyangkan pinggul yang merupakan tiruan gerak ayam berjalan, lalu menepuk tangan sekali, menepuk tangan di bawah kaki kanan yang diangkat, menepuk tangan di balik punggung, lalu kembali menepuk tangan sekali di depan dada. Gerakan tari yang semula lambat, terus berulang dan semakin cepat. Mengundang tawa seluruh partisipan lingkaran :)
Sebagai tambahan informasi, saat melakukan gerak chicken dance ini, kami menyenandungkan na-na-na-na bernada khas lagu latar kemunculan Mr. Bean :)
Sebelum mengakhiri chicken dance ala Kak Shae, permainan ini dibuat kompetitif oleh Kakak-Kakak Pengajar. Adik-Adik asuh yang membuat kesalahan saat menari, akan dikenai hukuman. Hukumannya adalah menyanyikan sebuah lagu. Ini adalah cara Kakak-Kakak Pengajar untuk mengetahui bakat terpendam Adik-Adik Asuh-nya.
Ada begitu banyak kesan yang dibawa pulang Kakak-Kakak Pengajar sebagai oleh-oleh bagi keluarga dan sahabat-sahabatnya. Salah satunya kesan itu bernama Ana.
Ana adalah seorang Adik Asuh yang belum bersekolah. Ana bersuara lantang dan memiliki senyum yang ramah. Ia tidak tampak canggung bahkan di awal perkenalan dengan Kakak-Kakak Pengajar. Ana memiliki cacat fisik, namun tidak membuatnya rendah diri. Ia bahkan tak sungkan mengangkat tangan saat Kakak-Kakak pengajar menanyakan "Siapa yang bisa menyanyi?". Tanpa ia sadari, Ana mengajarkan kami, untuk berani menunjukkan kemampuan--terlebih jika itu bermanfaat, berani untuk menghadapi kesempurnaan dengan segala keterbatasan, dan, berani untuk unjuk diri dengan segala kekurangan yang dimiliki.
Ada begitu banyak kesan yang dibawa pulang Kakak-Kakak Pengajar sebagai oleh-oleh bagi keluarga dan sahabat-sahabatnya. Salah satunya kesan itu bernama Ana.
Ana adalah seorang Adik Asuh yang belum bersekolah. Ana bersuara lantang dan memiliki senyum yang ramah. Ia tidak tampak canggung bahkan di awal perkenalan dengan Kakak-Kakak Pengajar. Ana memiliki cacat fisik, namun tidak membuatnya rendah diri. Ia bahkan tak sungkan mengangkat tangan saat Kakak-Kakak pengajar menanyakan "Siapa yang bisa menyanyi?". Tanpa ia sadari, Ana mengajarkan kami, untuk berani menunjukkan kemampuan--terlebih jika itu bermanfaat, berani untuk menghadapi kesempurnaan dengan segala keterbatasan, dan, berani untuk unjuk diri dengan segala kekurangan yang dimiliki.
Dalam kegembiraan dan suasana suka cita, waktu tidak lagi berdetak. Waktu bahkan tidak berjalan. Ia berlari. Dan kami dihantarkan pada petang yang mulai remang. Sebuah isyarat perpisahan. Tapi sebelum itu, tidak seru rasanya jika tidak mengabadikan momen-momen kebersamaan kami, salah satunya, adalah pose "jempol" ini :)
Dan akhirnya, kami harus kembali pulang, untuk datang lagi di Sabtu berikutnya. Semoga semangat berbagi ini terus bertumbuh dan meraksasa, sampai nanti.
Sampai jumpa lagi!
[Ray]
Diary Gerakan Kendari Mengajar #1 [Memorabilia Kampung di Tengah Kota]
Reviewed by Unknown
on
15.48
Rating:
![Diary Gerakan Kendari Mengajar #1 [Memorabilia Kampung di Tengah Kota]](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7Sux4rI_o3QaiKHdKLwovLip-Xgv_Wcs6MbF3_wBUGB4LQlyvQ2IaMOiHhVzzCMEm2SI-e57h1PvHMLAcmZjMrzCHJ33M9lihjwBX7taKSpsm1VVcpIb8dDl13WniBtmEqyG5YeaY5RPJ/s72-c/1381469_736129939746316_1088030595_n.jpg)
Tidak ada komentar