Ads Top


Catatan Pengajar #4: Diamlah, Lihatlah Saja, dan Kau Bukan Siapa Siapa

Bayangan matahari bergulir pelan. Membawa sore datang lagi. Sekarang, waktu terasa seperti berlari. Sore-sore datang seperti berdesakan. Sementara langkah mengayun semakin pelan. Tapi jiwa-jiwa yang dahaga Restu Tuhan akan selalu terusik. Terpanggil. Menyusuri jejak waktu yang menyisakan usang dalam sekelip mata. Mereka menemukan ketidakberesan di sana-sini. Dan mereka ada untuk itu semua. 
Membereskan segala hal yang tidak berada pada tempatnya. Meski terasa kecil. Tapi akan selalu penting bagi sebagian orang. Meski tidak mudah. Tapi akan ada masanya, ketika segala kesulitan akan berakhir. Dan akan selalu ada beda yang jelas antara mereka yang berjalan dan melakukan sesuatu, dengan mereka yang berdiam dan melihat dari kejauhan, lalu bersikap seolah-olah mereka mengetahui segalanya. Padahal tidak. Tentu saja tidak.

Sepeda motor yang kami tumpangi menderu, membelah jalanan kota. Menjadi bagian dari kebisingan yang familiar. Dalam dunia benda mati, sepeda motor kami dan jalanan bisu itu, pastilah telah berkawan baik. Setidaknya mereka akan saling menyapa setiap kali kami melintasi jalanan itu lagi.
“Hai, Sobat!” kira-kira seperti itulah sang Jalanan akan berucap.
“Halo, Kawan!” sang Sepeda Motor membalas.
“Kau lagi. Aku senang setiap kali kau melintas. Kau berbeda dengan motor-motor yang lain. Masih ke tempat yang sama?”
“Ya, pasti. Tuan-tuanku, kau tahu, kan? Orang-orang yang duduk di punggungku, mereka akan beraksi lagi. Omong-omong, aku juga senang setiap melintas di atasmu.”
“Terima kasih. Hebat sekali! Ceritakan padaku, Sobat.”
“Tentu, Kawan.”

Motor kami pacu dengan gegas. Menuju daerah yang konon, dulunya, dipenuhi pohon Longkida. Karena itulah ia dinamai Puulonggida. Berasal dari kata puu yang berarti pohon, dan longgida, pohon berspesies Nauclea Orientalis atau Pohon Longkida.
Rombongan kami berhenti di depan tiga buah bangunan permanen yang berderet. Sebuah sumur umum, taman baca, dan sebuah bangunan permanen yang sekilas mirip bangunan mushalla, namun ternyata disebut masjid oleh masyarakat sekitar. Bangunan taman baca berukuran 2 x 2 meter itulah tempat yang akan menyemai bibit-bibit pengetahuan. Meski telah diperuntukkan sebagai Taman Baca sejak semula, bangunan itu tidak tampak seperti namanya. Tapi kelak, anak-anak Puulonggida akan menemukan diri mereka terikat dengan bangunan itu. Bahkan lebih dari itu, di dalam bangunan sempit itu, mereka akan menemukan diri mereka. Dalam berbagai wujud mengagumkan.


          “Kak Ani, mana mi bukunya?” pertanyaan itu datang dari seorang adik asuh sesaat setelah aku berjalan mendekat ke arahnya.
           “Oh iya, ada ji sayang,” jawabku.
          “Berarti bisa mi kita pinjam sebentar?” kembali ia bertanya dengan raut senang.
          “Yoi!” sahutku, membalas senyumnya.

      Beberapa rekan Volunteer telah kembali berjibaku dengan materi ajar. Menjejalkan diri mereka di rimbunnya rerumputan, menghadapi berpasang-pasang mata jernih dan tajam, yang selalu menyorot penuh rasa ingin tahu. Tangan-tangan mereka memeluk buku-bukunya dan sebatang pulpen. Di bawah naungan langit yang cerah tanpa awan, suara mereka yang bersenda dan bercakap dengan fokus yang hanya tertuju satu sama lain, terdengar hangat. Komposisi yang sempurna dengan sore yang teduh.



       
       Lalu aku bertemu Helson. Salah seorang Volunteer yang bertanggung jawab atas Taman Baca Kendari Mengajar. Taman Baca belum dibuka. Kami membutuhkan kunci.
       “Sudah mi kita tanya pak RT, Helson?” aku bertanya pada Helson.
       “Belum pi kak, sa malu-malu pergi sendiri.”
     Aku menawarkan bantuan. Kami berdua mengunjungi Pak RT dan menanyakan kunci Taman Baca. Tak berapa lama, pintu Taman Baca telah terbuka. Ruangan yang telah lama kosong itu akan segera ramai oleh suara riuh anak-anak yang berebut buku. Juga suara para Volunteer yang sibuk menertibkan suasana. Buku-buku--hasil donasi Gerakan 1000 Buku--akan segera menyesaki tempat itu. Segera ketika buku-buku itu terbuka, lembar demi lembar, maka tersibaklah tirai jendela dunia. Hanya dengan membayangkan itu, aku tersenyum. Hanya untuk diriku sendiri. 
     Taman Baca Mandiri adalah sebuah fasilitas desa yang belum termanfaatkan selama ini. Aku tidak ingin berasumsi perihal alasan Taman Baca itu tak pernah diisi. Jelas, semua orang di desa itu telah memikirkannya. Untuk apa Taman Baca dibangun jika hanya menjadi bangunan yang kelak menua dan keropos dindingnya? Dari mana buku-buku akan didapatkan? Siapa yang akan membeli buku-buku untuk mengisinya? Tapi semoga saja tak ada yang berpikir, "Biarlah. Toh, masyarakat tak akan sempat membaca. Mereka akan lebih sibuk dengan kebun dan ladangnya. Kalaupun sempat, tak akan ada yang repot-repot masuk ke bangunan sempit itu untuk membaca buku yang tidak bisa mereka pahami."

    Faktanya, masyarakat desa tak hanya terdiri dari orang tua. Anak-anak mereka mengenyam bangku pendidikan. Dan mereka telah melek aksara. Mereka akan membutuhkan taman baca itu. Sangat memprihatinkan, menemukan sebuah artikel dalam koran nasional yang menyebutkan angka Indeks Minat baca Indonesia yang hanya 0,001. Yang berarti bahwa dalam 1000 penduduk, hanya ada 1 penduduk Indonesia yang memiliki minat baca. Adik-adik asuh Kendari Mengajar pastilah segelintir dari jutaan anak Indonesia yang sangat mengidamkan buku untuk dibaca. Statistik keliru ini tentunya membutuhkan peninjauan ulang. Mungkin, dimulai dari mengganti variabel penelitian. Bukan pada minat baca. Melainkan pada minat beli. Maka ketidakmampuan masyarakat akan pemenuhan kebutuhannya, menjadi tanggung jawab negara, sebagaimana yang termaktub dalam undang-undang.
       Proyek taman baca yang dibangun dari program pemerintah--yang kemudian berakhir menjadi tontonan belaka ketika masa kerja pemenang proyek berakhir--hendaknya dibarengi dengan memfasilitasi taman baca dengan buku-buku. Dan jika pemenang proyek tak cukup mampu memikirkan hal itu sejauh yang dibutuhkan, maka giliran Masyarakat Peduli-lah yang membenahi.

     
       Pintu Taman Baca Kendari Mengajar menguak. Menguarkan aroma apak yang pekat. Debu memenuhi udara. Sawang laba-laba mengisi sebagian kecil area di sudut ruangan. Ruangan itu masih menyimpan buku-buku yang berjumlah sekitar 50 buah. Adik-adik asuh yang telah selesai belajar berjalan beriringan, mendekati Taman Baca. Di belakang mereka, para Volunteer mengekori dengan langkah ringan yang sama bersemangatnya. Dan hal yang terjadi selanjutnya adalah hal yang tidak akan pernah mereka lupakan.
     Dengan sukarela, adik-adik asuh kami kembali ke rumah mereka untuk mengambil peralatan yang akan dibutuhkan untuk membersihkan masjid dan taman baca. Bangunan masjid itu telah lama tidak digunakan. Terasnya yang terbuat dari keramik dipenuhi kotoran kambing. Sesaat kemudian, adik-adik kami kembali dengan ember, sapu, air, apa saja yang mereka pikir dapat mereka gunakan. Beberapa anak laki-laki menimba air di sumur yang terletak di depan taman baca. Jika salah seorang adik tampaknya tak cukup mampu mengangkat embernya, adik yang lain akan berebut untuk datang membantu.


Beberapa adik yang lain dengan giat mulai mengayunkan sapu. Beberapa yang lainnya membantu kakak Volunteer membersihkan beranda masjid, yang letaknya bersebelahan dengan Taman Baca. Mereka mengguyurkan air lalu menyapunya dengan kain pel. Tak ada wajah yang cemberut. Tak ada yang ingin diam dan melihat saja. Semua ingin melakukan sesuatu. Semua ingin menjadi bagian dari kenangan manis itu. Sejarah yang kelak akan mereka wariskan pada anak-anaknya dalam bentuk cerita sebelum tidur. Bahwa mereka pernah melakukan sesuatu untuk desanya, lingkungan tempat mereka bertumbuh dan berkembang. Menghidupkan taman baca yang telah lama di-peti es-kan.



Berat sama dijinjing, ringan sama dpikul. Semangat inilah yang membuat pekerjaan cepat selesai.  Setelah ruangan taman baca bersih, adik-adik kelas 6 dan SMP membantu merapikan dan menyusun buku-buku hasil donasi. Wajah bahagia mereka terlihat jelas. Sebentar lagi, mereka akan menjadi bagian dari masyarakat perbukuan. Betapa hebatnya!
Buku-buku hasil donasi dari para dermawan kami susun satu persatu. Menyesaki sebuah meja kecil yang entah sudah berapa lama teronggok di sudut ruangan. Banyak buku  terpaksa diletakkan di lantai karena tak ada lagi tempat. Taman Baca itu sekarang dipenuhi wajah-wajah manis yang tak sabar. Mereka sudah menantikan ini sedemikian lama. Mulai saat ini, mereka akan melihat sisi lain dari dunia. Sisi yang tak pernah tampak dari Puulonggida. Aku membayangkan, malam ini mereka akan menyalakan pelita lalu duduk di depannya sembari mengurai harapan agar pelita itu tak padam, yang di bawah remangnya, seribu tanya siap mereka tuntaskan.
     Satu lagi tertuntaskan. Yang lain sedang menunggu. Masih adakah alasan untuk berdiam dan melihat saja? Setelah ini semua usai, kita akan bertepuk tangan penuh suka. Diamlah, lihatlah saja, dan kau bukan siapa siapa. Mari bergerak, mari peduli.
[HSR/RAY]


Catatan Pengajar #4: Diamlah, Lihatlah Saja, dan Kau Bukan Siapa Siapa Catatan Pengajar #4: Diamlah, Lihatlah Saja, dan  Kau Bukan Siapa Siapa Reviewed by Unknown on 20.53 Rating: 5

Tidak ada komentar


close